Featured Articles
All Stories

Kamis, 28 Agustus 2014

UPDATE : RINCIAN FORMASI CPNS 2014 KABUPATEN SIKKA DAN KABUPATEN NGADA NTT


Untuk sahabat sekalian yang ingin mengikuti test CPNS 2014 di kabupaten SIKKA dan NGADA Propinsi Nusa Tenggara Timur, berikut adalah daftar rincian FORMASI tersebut :

1. Kabupaten SIKKA
     Untuk Rincian Formasinya bisa di lihat DI SINI

2. Kabupaten NGADA
     Untuk Rincian FOrmasinya bisa dilihat DI SINI
08.50.00 - By Rafiz Balawelin 0

0 komentar:

Selasa, 26 Agustus 2014

FAKTA : BERCINTA MANFAAT SEHAT BAGI WANITA

Jika disebutkan aktivitas bercinta secara rutin dapat memberikan segudang manfaat untuk kesehatan pria, namun di sisi lain juga banyak manfaatnya untuk wanita.
berikut 8 manfaat rutin bercinta bagi kesehatan wanita:
1. Redakan nyeri
Ya, aktivitas seks turut membantu mengatasi nyeri secara alami. Bercinta melepaskan hormon oksitosin, yang membantu mengurangi rasa sakit, termasuk sakit kepala dan nyeri haid. Orgasme membuat otot berkontraksi sehingga menghilangkan senyawa yang menyebabkan kram saat haid. Ketika otot-otot berkontraksi secara rutin, kemampuannya untuk mengeluarkan darah haid semakin terlatih. Efeknya kram menstruasi pun akan mereda.
2. Sehatkan kulit
DHEA (dehydroepiandrosterone) adalah senyawa yang dilepaskan dalam tubuh selama orgasme. Senyawa ini sangat penting untuk memperbaiki struktur kulit, mengatasi jerawat dan membuat kulit bercahaya.
 3. Cegah gigi berlubang
Air mani mengandung seng dan kalsium yang membantu mencegah pembusukan gigi dan karies. Sebab mineral-mineral dari air mani tersebut diserap dalam tubuh selama bercinta.
 4. Cegah kanker serviks
Jika ejakulasi membantu mencegah kanker prostat pada pria, maka tahap di mana saat akan mencapai orgasme akan mencegah kanker serviks pada wanita.
 5. Atasi stres
Stres bisa dipastikan akan dialami oleh setiap harinya, namun tak ada salahnya Anda mengatasinya dengan cara yang menyenangkan seperti bercinta. Menurut para ahli, bercinta merupakan salah satu cara terbaik untuk mengurangi stres dan depresi karena efek pelepasan hormon oksitosin.
 6. Memperbaiki pola tidur
Aktivitas seks memperbaiki pola tidur dengan cara melepaskan oksitosin. Hormon ini berfungsi memberikan efek mengantuk dan inilah alasan mengapa pria seringkali cepat tertidur setelah bercinta.
 7. Perbaiki sirkulasi darah dan cegah penyakit jantung
Rutin bercinta membantu meningkatkan sirkulasi darah dan oksigen di dalam tubuh. Nah, sirkulasi darah yang baik pada akhirnya akan meningkatkan kesehatan secara keseluruhan, termasuk menjaga kesehatan jantung.
 8. Mengurangi berat badan dan tingkatkan metabolisme
Bercinta merupakan salah satu latihan kardio yang membakar kalori. Rata-rata aktivitas seks dapat membakar 170 kalori per jam. Seks juga meningkatkan denyut jantung dan sirkulasi darah, yang efeknya dapat meningkatkan metabolisme dan mengurangi kolesterol dalam tubuh. Selain itu, aktivitas seks juga turut mengencangkan otot karena banyaknya jenis posisi yang bisa Anda lakukan

BACA JUGA :

HUBUNGAN SEX BISA BIKIN TUBUH SEHAT

FAKTA KEBIASAAN WANITA YANG BERAKIBAT TIDAK SEHAT
22.23.00 - By Rafiz Balawelin 0

0 komentar:

DAFTAR RINCIAN FORMASI CPNS 2014 UNTUK PROPINSI NUSA TENGGARA TIMUR

daftar rincian formasi CPNS 2014 Propinsi NUSA TENGGARA TIMUR untuk sementara waktu ini yang sudah selesai diproses oleh MENPAN adalah sebagai berikut :

1. Kabupaten MALAKA.
     Lihat daftar rincian Formasinya DI SINI

2. Kabupaten MANGGARAI TIMUR
     Lihat daftar rincian Formasinya DI SINI

3. Kabupaten TIMOR TENGAH SELATAN
     Lihat daftar rincian Formasinya DI SINI

4. Kabupaten KUPANG
     Lihat rincian Formasinya DI SINI

5. DINAS PROPINSI NUSA TENGGARA TIMUR
   Lihat rincian Formasinya DI SINI

6. Kabupaten BELU
     Lihat rincian Formasinya DI SINI
18.40.00 - By Rafiz Balawelin 0

0 komentar:

9 PENYEBAB KETAKUTAN

Hampir kebanyakan orang yang pernah merasakan berbicara didepan umum, pasti pernah mengalami ketakutan. Keringat dingin, gelisah, selalu merasa ingin ke toilet adalah sebagian refleksi dari rasa ketakutan tersebut. Berdasarkan hasil penelitian ada 9 penyebab ketakutan yang signifikan ketika berbicara didepan umum :
  1. Takut akan gagal, ingin selalu sukses dan takut gagal malah kadangkala membuat ketakutan itu semakin besar.
  2. Tidak ada rasa percaya diri, merasa diri tidak mampu untuk melakukan hal tersebut.
  3. Traumatis, memiliki rasa takut dan merasa sendirian ketika berdiri di panggung dan semua mata melihat padanya.
  4. Takut dinilai/dihakimi, hal ini terjadi karena adanya perasaan takut ketika banyak orang membicarakan dirinya atau pendapatnya.
  5. Terlalu perfeksionis, perfeksionis baik, tetapi terlalu perfeksionis dan berharap terlalu banyak pada dirinya sendiri malah membuat efek negatif.
  6. Takut akan orang banyak, merasa tidak nyaman dan tidak percaya diri ketika berbicara di depan puluhan, ratusan atau ribuan orang.
  7. Kurangnya persiapan, persiapan yang minim membuat rasa takut untuk berbicara di cepan umum ini semakin menjadi-jadi.
  8. Stress, menghindari stress ketika berbicara di depan umum.
  9. Blank, takut tidak tahu apa yang harus dilakukan, apa yang harus dibicarakan ketika berbicara didepan umum.
Semua penyebab ketakutan diatas harus diatasi, pahamilah bahwa semua orang mengalaminya bahkan pembicara hebatpun pasti pernah mengalaminya. So…kenali dan taklukan penyebab rasa takutmu.
Sumber : kiriman email dari IBSC TV Presenter

 



07.26.00 - By Rafiz Balawelin 0

0 komentar:

Senin, 25 Agustus 2014

SKRIPSI : NILAI-NILAI LEGENDA KAMPUNG BALAWELIN KECAMATAN SOLOR BARAT KAB. FLORES TIMUR NTT

SKRIPSI
NILAI-NILAI LEGENDA KAMPUNG BALAWELIN
KECAMATAN SOLOR BARAT KABUPATEN FLORES TIMUR
OLEH :
KLEMENSIUS Y. KELANG
NIM : 0610223831

PROGRAM STUDI BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNVERSITAS PGRI NTT
KUPANG
 2011




DAFTAR ISI
LEMBARAN JUDUL
DAFTAR ISI..........................................................................................................          i
BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................          1
1.1 Latar Belakang..................................................................................................          1
1.2 Rumusan Masalah.............................................................................................          4
1.3 Tujuan Penelitian..............................................................................................          4
1.4 Manfaat Penelitian............................................................................................          4
BAB II KAJIAN PUSTAKA................................................................................          5
2.1 Teori..................................................................................................................          5
2.2 Sastra Lama......................................................................................................          7
2.2.1 Ciri-ciri Sastra Lama......................................................................................          5
2.2.2 Jenis-jenis Sastra Lama..................................................................................          5
2.3 Legenda............................................................................................................          9
2.4 Nilai..................................................................................................................          10
2.5 Histori...............................................................................................................          11
2.6 Religi.................................................................................................................          12
2.7 Sosial.................................................................................................................          12
BAB III METODE PENELITIAN.......................................................................          14
3.1 Metode Yang Digunakan.................................................................................          14
3.2 Sumber Data.....................................................................................................          15
3.3 Teknik Perolehan Data......................................................................................          15
3.4 Teknik Pengolahan Data...................................................................................          16
BAB IV DATA DAN INTERPRTASI.................................................................          17
4.1 Data..................................................................................................................          17
A. Latar BelakangMasyarakat Pemilik Legenda....................................................          17
B. Legenda.............................................................................................................          20
4.2 Interpretasi........................................................................................................          26
DAFTAR PUSTAKA
Lampiran-Lampiran

BAB I
PENDAHULUAN
1.1.    Latar Belakang
Berbicara tentang kesastraan tidak terlepas dari masyarakat dan manusia. Karena sastra merupakan cermin atau gambaran kehidupan masyarakat yang selalu ada dalam peradaban manusia. Setiap daerah di Indonesia pasti menyimpan sastra lisan masing-masing. Hanya saja sampai saat ini belum semuanya terungkap dan diketahui masyarakat luas. Menurut Mattaliti (dalam Mahmud Larupa, dkk, 2002:1) sastra lisan mempunyai hubungan yang erat dengan masyarakat dimana sastra lisan itu berada, baik dalam hubungan dengan masyarakat masa lalu, masa sekarang, maupun masa yang akan datang.
Menurut Hutomo (dalam Piris,dkk,2000:4) sastra lisan atau kesusatraan lisan adalah kesusastraan yang mencakup kesusatraan warga suatu kebudayaan yang disebut dan dituturkan secara lisan. Sastra itu sendiri lahir, disebabkan oleh dorongan dasar manusia untuk mengungkap dirinya, serta menaruh minat terhadap masalah manusia dan kemanusiaan juga terhadap dunia realitas yang hadir sepanjang hari dan sepanjang zaman.
Dalam usaha mengungkapkan sastra daerah, khususnya sastra lisan, tidaklah berarti menampilkan dan menonjolkan sifat kedaerahan, penelusuran kebudayaan daerah perlu dilaksanakan karena bahasa dan sastra daerah merupakan sumber yang tak pernah kering bagi kesempurnaan dan keutuhan budaya nasional kita. Sastra lisan mempunyai kemungkinan untuk berperan sabagai kekayaan budaya, sebagai modal apresiasi sastra sebab sastra lisan telah membimbing anggota masyarakat ke arah apresiasi dan pemahaman gagasan dan peristiwa bardasarkan praktek yang telah menjadi tradisi selama berabad-abad, sebagai dasar komunikasi antara pencipta dan masyarakat dalam arti ciptaan yang berdasarkan sastra lisan akan lebih mudah digauli sebab ada unsurnya yang sudah dikenali masyarakat (Yus Rusyana, dalam Muhammad Sikki, dkk, 1986:1)
Seperti halnya dikemukakan di awal tadi bahwa setiap daerah di Indonesia memiliki sastra lisan, maka yang pastinya di masing-masing daerah pun terdapat tempat-tempat terjadinya peristiwa yang bertalian dengan kejadian-kejadian yang berupa air atau sungai, bukit, pulau atau nama suatu tempat dan sebagainya. Ceritera legenda seperti ini yang mana berasal dari daerah-daerah di seluruh penjuruh nusantara kiranya dapat menjadi bahan bacaan yang menarik dan sebagai bahan untuk memperdalam pengetahuan tentang keanekaragaman budaya Indonesia.
Dalam hubungannya dengan dunia pendidikan, sastra lisan juga merupakan pengetahuan yang sangat menunjang pendongkrakan mutu pendidikan. Pendidikan yang terjadi dalam masyarakat dan budaya tentu merupakan fakta yang tak dapat dielakan, sehingga tujuan pendidikan bahkan metodenya tergantung dari tabiat masyarakat di mana perdidikan tersebut ada. Anak yang lahir dalam sebuah kelompok sosial selalu akan diharapkan menjadi pendukung atau penerus kehidupan budaya kelompok tersebut. Pendidikan merupakan kegiatan dari masyarakat manusia sebab hanya manusialah yang dapat melakukan kegiatan pendidikan. Dengan adanya kegiatan pendidikan maka setiap kelahiran baru tidak perlu lagi mengulangi perkembangan manusia dari awal perkembangan zaman. Dan dengan pendidikan juga manusia dapat mempertahankan kehidupannya, mancapai keamanan dalam penguasaan kehidupannya.
Legenda kampung Balawelin  merupakan salah satu jenis sastra lisan bercorak cerita yang terdapat di kecamatan Solor Barat kabupaten Flores Timur. Legenda kampung Balawelin ini sangat dijunjung tinggi oleh masyarakat setempat karena nilai-nilainya, dan merupakan bagian dari suatu kebudayaan yang terus berkembang hingga saat ini. Kehidupan sastra di daerah ini dapat dikatakan masih sebagai sastra lisan karena sebagian besar sastranya hanya tersimpan dalam ingatan orang tua atau penerus keturunan yang hingga sekarang sudah lanjut usia.
Perkembangan IPTEK yang sangat pesat, membawa manusia ke dalam arus perkembangan yang memaksakan setiap insan untuk menunjukan kemampuan bersaing baik secara sehat maupun sebaliknya. Hal ini yang akan mengakibatkan manusia lupa akan nilai-nilai kehidupan yang seharusnya selalu melekat dalam dirinya. Walau Legenda kampung Balawelin sangat dijunjung tinggi karena memberikan nilai-nilai kehidupan untuk masyarakatnya dalam menjalani hidup di dunia dewasa ini. Namun masyarakat Balawelin sendiri belum sepenuhnya memahami dan mengaktualisasikan  setiap makna yang tersirat dari legenda Kampung Balawelin ini dalam kehidupan.
Dengan pendasaran singkat tersebut, maka penulis merasa penting untuk memilih nilai sebagai sasaran dari penelitian ini. Sehingga penulis tertarik untuk mengadakan penelitian terhadap legenda kampung Balawelin sastra dengan judul “ Nilai-nilai Legenda Kampung Balawelin Kecamatan Solor Barat Kabupaten Flores Timur “. Penelitian ini difokuskan pada naskah Legenda Kampung Balawelin yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
1.2.    Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang di atas, maka yang menjadi masalah adalah :
  1.  Apakah  legenda kampung Balawelin dapat digolongkan sebagai karya sastra yang mengandung nilai histori ?
  2. Bagaimana hubungan sosial masyarakat dalam legenda kampung Balawelin?
  3. Bagaimana sistem religi (kepercayaan) dalam legenda kampung Balawelin?
  4. Apa manfaat nilai-nilai legenda kampung Balawelin dalam dunia pendidikan?
1.3.    Tujuan Penelitian
Sehubungan dengan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini untuk :
1)      Mendeskripsikan nilai histori yang terdapat dalam Legenda Kampung Balawelin.
2)   Mendeskripsikan hubungan sosial masyarakat dalam Legenda Kampung Balawelin
3)   Mendeskripsikan sistem religi dalam legenda kampung Balawelin
4)   Mendeskripsikan manfaat nilai legenda kampung Balawelin dalam dunia pendidikan
1.4.    Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah :
1.      Sebagai dokumentasi masyarakat Balawelin dan pemerintah setempat dalam mengembangkan sastra daerah terkhusus sastra lisan.
2.      Sebagai bahan informasi bagi peneliti lain yang ingin melakukan penelitian tentang sastra lisan.
3.      Sebagai bentuk sumbangsi kepada lewo tana Balawelin
4.      Sebagai upaya melestarikan budaya daerah
BAB II
ACUAN TEORI
2.1 Teori
Teori Struktulal genetik dikembangkan oleh seorang sosiologi Perancis, Lucie Goldman, yang mendasarkan teorinya pada teori sastra seorang teoritis beraliran Maxis, George Lukacs. Teori ini disebut selden (dalam Taum 1997:40) sebagai teori Maxisme Struktural, yang percaya bahwa individu bukanlah makhluk bebas melainkan pendukung kelas – kelas sosial dalam masyarakatnya. Hal senada juga disampaikan Taum (1997:40) teori ini muncul sebagai reaksi terhadap ”Strukturalisme Murni” yang menggambarkan unsur kesejatraan teks sastra sehingga menjadi teori yang ahistoris.
Struktural genetik beranggapan bahwa teks  sastra dapat dianalisis dari struktur karya sastra itu (kesatuan dan koherensinya) sebagai data dasarnya. Karya sastra adalah totalitas yang  bermakna sebagaimana masyarakatnya. Oleh karena itu, Setiap karya sastra adalah suatu keutuhan yang hidup, yang dapat dipahami dari unsur – unsurnya.
Goldman (Taum 1977:40)  menjelaskan bahwa karya sastra sebagai struktur bermakna itu mewakili pandangan dunia (vision du monde) penulis, tidak sebagai individu melainkan sebagai wakil golongan masyarakat. Selanjutnya Goldman mengukuhkan adanya hubungan antara struktur sastra dan struktur masyarakat melalui pandangan dunia atau ideology yang diekspresikannya. Strukturalisme genetik juga mengedepankan aspek struktur. Baik struktur dalam maupun struktur luar, tetap dianggap penting bagi pemahaman karya sastra. Jadi, sekurang-kurangnya penelitian strukturalisme genetik meliputi 3 hal, yaitu: (1) aspek intrinsic teks sastra, (2) latar belakang pencipta, dan (3) latar belakang sosial budaya serta sejarah masyarakatnya. Jadi strukturalisme genetik juga mengedepankan aspek kesejarahan karya sastra.
Menurut Endraswara (2008:62) secara sederhana, kerja peneliti Strukturalisme genetik dapat diformulasikan dalam tiga langkah. Pertama, peneliti bermula dari kajian unsure intrinsik, baik secara parsial maupun dalam jalinan keseluruhannya. Kedua, mengkaji kehidupan sosial budaya pengarang, karena ia merupakan bagian dari komunitas tertentu. Ketiga, mengkaji latar belakang sosial dan sejarah yang turut mengkondisikan karya sastra saat diciptakan oleh pengarang.
Cara kerja inilah yang akan membantu peneliti dalam mengkaji Legenda Kampung Balawelin Kecamatan Solor Barat Kabupaten Flores Timur dengan menggunakan teori strukturalisme genetik.
Karena sastra lisan adalah milik kolektif/milik masyarakat, maka Dari ketiga langkah di atas, langkah ke dua yang mana mengkaji kehidupan sosial budaya pengarang, tidak digunakan.
Disamping menggunakan teori struktural genetik, penelitian ini juga menggunakan teori sastra yang mengacu pada pendekatan sosiologi sastra. Seperti yang dikemukakan oleh ahli sastra Sweeney (1980:25),  bahwa pendekatan sosiologi sastra didasarkan pada anggapan bahwa analisis sastra yang melihat struktur akan melepaskan karya dari konteks sebenarnya dan fungsi sebenarnya.
Lahirnya sebuah karya satra berkaitan erat dengan faktor – faktor diluar sastra seperti kemasyarakatan dan budaya (Swingewood,1972:91). Sweeney menjelaskan  betapa pun yang dimaksud terutama pada sastra lisan namun dapat pula berlaku pada sastra umumnya.
Sosiologi sastra sebagai suatu jenis pendekatan terhadap sastra memiliki paradigma  dengan asumsi yang berbeda dari pada yang telah digariskan oleh teori sastra berdasarkan prinsip  otonomi sastra. Penelitian ini menghasilkan pandangan bahwa karya sastra  adalah ekspresi dan bagian dari masyarakat yang memiliki keterkaitan dengan jaringan – jaringan sistem dan nilai dalam masyarakat tersebut. Sebagai suatu bidang teori, maka sosiologi sastra dituntut memenuhi persyaratan – persyaratan keilmuan dalam menangani obyek sasarannya.
Istilah sosiologi sastra dalam ilmu sastra dimaksudkan untuk menyebutkan ahli sejarah sastra yang terutama memperhatikan hubungan antara pengarang dengan kelas sosialnya, status sosial dan ideologinya, kondisi ekonomi dalam profesinya dan model pembaca yang di tujuhnya. Mereka memandang bahwa karya sastra baik maupun bentuknya secara mutlak terkondisi oleh lingkungan dan kekuatan sosial suatu periode tertentu (Abrams,1981:178)
Teori sosiologi sastra merupakan suatu bidang ilmu yang tergolong masih cukup muda (Damono, 1977:3) berkaitan dengan kemantapan dan kemapaman teori ini dalam mengembangkan alat – alat analisis sastra yang relativ masih labil dibandingkan dengan teori sastra berdasarkan prinsip otonomi sastra.
2.2 Sastra Lama
Kesusastraan lama adalah kesusastraan yang hidup dan berkembang pada masyarakat lama Indonesia yang bersifat anonim (Abdul Rani dkk, 2006:14). Dikemukakan lagi oleh A.K.Muda, sastra lama adalah sastra melayu tertua yang bentuknya masih berupa lisan atau ajaran.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sastra lama merupakan karya sastra yang ada pada masa atau era Indonesia lama, bersifat anonim dan sangat erat hubungannya dengan kebudayaan dan adat.
2.2.1 Ciri-ciri sastra lama
Sastra lama mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
1.      Istanasentris, yaitu bentuk cerita yang ditulis atau diceritakan selalu berpusat pada kehidupan kerajaan atau istana yang tokohnya adalah raja, ratu, dan pangeran.
2.       Statis, proses perkembangan atau perubahan bentuk dan tema berlangsung sangat lamban.
3.      Tradisional, bentuk karangannya tidak mengesampingkan pola tradisi.
4.      Klise, bahasanya berupa ungkapan yang sering kali diulang.
5.      Anonim, nama pengarang tidak dicantumkan atau disebutkan
6.      Fantastis, yaitu bentuk karangannya bersifat di luar khayalan atau di luar kenyataan
2.2.2 Jenis-jenis sastra lama
Abdul Rani dkk, (2006:22) Sastra lama terdiri dari beberapa bentuk atau jenis karangan yang diantaranya :
a.       Bentuk puisi
·         mantra
·         pantun
b.      Bentuk prosa
·         bidal
·         hikayat
·         tambo
·         dongeng
Dongeng terdiri dari beberapa bentuk yaitu :mite, sage, fabel, legenda, ceritera pelipur lara, ceriteta perumpamaan, kisah.
Berdasarkan bentuk dan jenis sastra lama di atas maka dapat diketahui bahwa legenda termasuk dalam jenis sastra lama berbentuk prosa.
2.3  Legenda
Legenda adalah ceritera rakyat pada zaman dahulu yang ada hubungannya dengan peristiwa sejarah (Moeliono, 1988:508). Legenda juga merupakan ceritera yang selalu dihubungkan dengan sejarah atau asal muasal suatu kejadian, tempat, lahirnya suatu benda, sejarah seorang tokoh besar dalam sejarah yang sakti mandra guna (Supratman, 2004:286). Legenda mempunyai ciri-ciri mirip dengan mite, yaitu dianggap benar-benar terjadi, tetapi tidak dianggap suci (Danandjaya, 1984:67). Legenda dapat dipaparkan berdasarkan penggolongan Jan Bruvand (Danandjaya, 1984:67) yaitu :
a.       Legenda keagamaan (religius legends)
Ciri utama legenda keagamaan adalah menceriterakan orang-orang yang suci.
b.      Legenda alam gaib (supernaturals legends)
Ceritera legenda alam gaib berisi tentang pengalaman tokoh cerita yang berhubungan dengan makhluk gaib, hantu, siluman, dan yang berhubungan dengan kejadian alam secara gaib
c.       Legenda perseorangan (personal legends)
Legenda jenis ini berisi tentang tokoh-tokoh cerita yang dianggap benar-benar ada dan pernah terjadi. Tokoh-tokoh tersebut biasanya disegani, dihormati, oleh kaum keteladanan dalam bidang tertentu.
d.      Legenda setempat (local legeds)
Jenis legenda ini berisi ceriteta yang berhubungan dengan terjadinya tempat, nama tempat dan bentuk topografi.
Berdasarkan pengertian  dari setiap jenis legenda di atas maka Kampung Balawelin merupakan sebuah legenda, karena merupakan cerita lisan yang hingga sekarang masih diceriterakan secara turun temurun dan dianggap kebenarannya oleh masyarakat Balawelin. Sehingga dengan bertolak dari jenis legenda tersebut di atas, maka Legenda Kampung Balawelin merupakan jenis legenda setempat. Karena berisi tentang terjadinya kampung Balawelin.
2.4  Nilai
Nilai adalah sesuatu yang berharga, bermutu, menunjukan kualitas, dan berguna bagi manusia. Hal yang dianggap bernilai berarti sesuatu itu berharga dan berguna bagi kehidupan manusia (allport, dalam Rokeachi,1973). Nilai adalah suatu keyakinan yang melandasi seseorang untuk bertindak berdasarkan pilihannya. Danandjaya (1985) mengemukakan bahwa nilai memberi arah pada sikap, keyakinan dan tingkah laku seseorang, serta memberi pedoman untuk memilih tingkah laku yang diinginkan setiap individu. Nilai juga diartikan sebagai sesuatu yang benar, baik, dan indah.  Kimball Young Mengemukakan nilai adalah asumsi yang abstrak dan sering tidak disadari tentang apa yang dianggap penting dalam masyarakat. Menurut A.W.Green, Nilai adalah kesadaran yang secara relatif berlangsung disertai emosi terhadap objek. Woods, Mengemukakan bahwa nilai merupakan petunjuk umum yang telah berlangsung lama serta mengarahkan tingkah laku dan kepuasan dalam kehidupan sehari-hari. M.Z.Lawang, Menyatakan nilai adalah gambaran mengenai apa yang diinginkan, yang pantas, berharga, dan dapat mempengaruhi perilaku sosial dari orang yang bernilai tersebut. Hendropuspito, Menyatakan bahwa nilai adalah segala sesuatu yang dihargai masyarakat karena mempunyai daya guna fungsional bagi perkembangan kehidupan manusia. Menurut Taringan (dalam Piris, 2000:3) ada terdapat beberapa macam jenis nilai yang diantaranya :
a.       Nilai hendronik : Nilai yang memberikan hiburan secara langsung
b.      Nilai artistic : Nilai yang melahirkan seni atau keterampilan seseorang dalam pekerjaan itu.
c.       Nilai etis moral religius : Nilai yang memancarkan ajaran dengan etika, moral, dan agama.
d.      Nilai praktis : Nilai yang dapat dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari.
Dengn demikian maka dapat dikatakan bahwa nilai merupakan sebuah hal yang diyakini baik bagi seseorang untuk menjalani setiap kehidupan yang memberikan makna positif untuk dirinya.
2.5   Historis
Sejarah membicarakan tentang masa lalu, masa sekarang dan masa yang akan datang. Jika dihubungkan dengan sastra maka sebuah karya sastra dapat dikatakan sebagai karya sastra sejarah apabila karya sastra tersebut mengandung unsur histori. Sehingga Sartono Kartodirjo (dalam Djamaris,1990:64) mengatakan bahwa naskah sejarah sebagai histografi tradisional yaitu penulisan sejarah menurut pandangan dan kepercayaan masyarakat setempat secara turun temurun. Sastra sejarah pada umumnya merupakan sastra rakyat yang popular di kalangan rakyat sendiri, disampaikan secara turun temurun baik secara lisan maupun tulisan. Dengan demikian maka nilai historis merupakan nilai yang mengandung hubungan yang mendalam antara suatu mesyarakat tertentu dengan perjalanan peradaban atau kebudayaan.
2.5  Religi
Istilah religi menurut kata asalnya berarti ikatan atau pengikatan diri. Oleh sebab itu, religi tidak hanya untuk kini atau nanti melainkan untuk selama hidup. Dalam religi manusia melihat dirinya dalam keadaan yang membutuhkan, membutuhkan keselamatan dan membutuhkan secara menyeluruh
Salah satu fungsi sastra adalah fungsi religi (dalam Abdul Rani dkk, 1999:13) yang mana mengandung ajaran agama yang dapat dijadikan teladan bagi para penikmat atau pembaca. Sistem religi dalam sastra lisan merupakan segala perilaku masyarakat atau kelompok tertentu yang berhubungan dengan kepercayaan, keyakinan dan Tuhan.
2.6   Sosial
Sosial masyarakat merupakan segala sesuatu yang tejadi dalam lingkungan sebuah masyarakat yang mana terjadinya proses saling ketergantungan dan interaksi antara sesama.
Nilai sosial adalah nilai yang dianut oleh suatu masyarakat, mengenai apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk oleh masyarakat. Woods mendefinisikan nilai sosial sebagai petunjuk umum yang telah berlangsung lama, yang mengarahkan tingkah laku dan kepuasan dalam kehidupan sehari-hari.
Drs. Suparto mengemukakan bahwa nilai-nilai sosial memiliki fungsi umum dalam masyarakat. Di antaranya nilai-nilai dapat menyumbangkan seperangkat alat untuk mengarahkan masyarakat dalam berpikir dan bertingkah laku. Selain itu, nilai sosial juga berfungsi sebagai penentu terakhir bagi manusia dalam memenuhi peranan-peranan sosial. Nilai sosial dapat memotivasi seseorang untuk mewujudkan harapan sesuai dengan peranannya.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1.    Metode Yang digunakan
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Data-data yang diambil berupa kata-kata dari hasil cerita masyarakat.
Penelitian deskriptif merupakan jenis penelitian yang memberikan gambaran atau uraian atas suatu keadaan sejelas mungkin tanpa ada perlakuan terhadap obyek yang diteliti. Pada umumnya penelitian dekriptif  menggunakan survei sebagai metode pengumpulan data (Kuontur,2004:106). Kualitatif  merupakan jenis penelitian yang pada umumnya berbentuk narasi atau gambar-gambar.
Metode penelitian deskriptif kualitatif oleh Bogdan dan Taylor (dalam Aminudin,1990:15) merupakan penelitian yang menghasilkan data dekriptif berupa kata-kata tertulis, tentang orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Sejalan dengan defenisi tersebut, Kirk dan Miller (dalam Moleong, 2000:3) mengemukakan penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung  pada pengamatan pada manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasanya dan dalam peristilahannya.
Dari pandangan tersebut di atas maka dapat dikatakan bahwa metode deskriptif  kualitatif merupakan jenis penelitian yang menghasilkan data  yang masih berupa ceritera atau data mentah yang kemudian diolah menjadi  suatu data akurat  yang tidak dimanipulasikan sehingga pada akhirnya mencapai hasil dengan memberikan simpulan sesuai dengan tujuan dari penelitian tersebut.
3.2.    Sumber Data
Data dari penelitian ini adalah data primer berupa caritera/kata-kata yang diperoleh dari informan atau tuturan lisan bahasa masyarakat setempat. Sedangkan data sekunder  adalah data yang diperoleh sebagai berikut :
1.      Lokasi Penelitian
Legenda Kampung Balawelin merupakan salah satu bentuk sastra lisan yang terdapat di Kabupaten Flores Timur, kecamatan Solor Barat
2.      Nara Sumber
Orang-orang yang dipilih menjadi informan utama dalam penelitian ini adalah tua-tua adat, tokoh-tokoh masyarakat dan masyarakat lainnya yang mengetahui tentang Legenda Kampung Balawelin.
3.3.    Teknik Perolehan Data
Data dari penelitian ini diperoleh dengan :
1.      Teknik wawancara; peneliti mewawancarai informan atau nara sumber untuk memperoleh data  tentang  Legenda Kampung Balawelin.
2.      teknik perekaman; peneliti merekam hasil ceritera Legenda Kampung Balawelin yang dituturkan oleh nara sumber atau informan.
3.      Teknik dokumentasi; peneliti mengambil gambar-gambar (pemotretan) atau objek-objek yang berkaitan dengan ceritera yang nantinya dapat dijadikan bukti hasil penelitian.
4.      Evaluasi data; menguji data yang diperoleh dari informan utama dengan menggunakan informan tambahan yang berada di sekitar wilayah tersebut.
3.4.    Teknik Pengolahan Data
Setelah data dikumpulkan, kegiatan selanjutnya adalah mengolah data dengan menggunakan teknik sebagai berikut :
1.      Pengaksaraan.
Legenda Kampung Balawelin yang telah direkam, selanjutnya akan diaksarakan atau mengubah data lisan menjadi data tertulis. Huruf yang digunakan adalah huruf Latin dan penulisannya disesuaikan dengan ejaan bahasa Indonesia yang disempurnahkan kemudian diarsipkan. Pengarsipan dilengkapi dengan identitas informan yang meliputi nama, umur,  jenis kelamin, serta pekerjaan.
2.      Terjemahan
Legenda Kampung Balawelin yang telah diaksarakan  kemudian diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Terjemahan yang dilakukan adalah terjemahan isi teks karena Legenda Kampung Balawelin merupakan bentuk prosa.
3.      Analisis
Hasil terjemahan beserta hasil wawancara dan hasil pengamatan, kemudian dianalisis atau diperoleh pemahaman berdasarkan masalah yang ditetapkan.
BAB IV
DATA DAN INTERPRETASI


4.I Data

A. Latar Belakang Masyarakat Pemilik Legenda

Data dalam bahasa asli

A1.        Suku pulo wu lema Balawelin pe teika ia lewo puke tana nimu, Lewo pe naran Balawelin. Morita pae lela pe lewo puke tana nimu kedi rae ayaka kae, ola reka here renu, kedi rae pe geto lewo wani tana ia lewo puke tana nimu ha’ak, ne pai rae mari lewo pe duli pali. Duli Teliha lama mayan-palin maya lama tali, Duli muda lama tulun-palin bao lama banga, Duli kenila lolon girek-palin week lama rebon,  Duli laka lama mayan-pali mayan lama tali, Duli rita lolon bala-palin bao lolon owa, Duli lupa lolon kuman-palin au gata matan. Ia lewo nimu pe rae hema adat ne koke bale, nuba nara, merik beledan. Ia lewo duli, usik nuba nara ne merik beledan meha. Pai lewo tana mete mela, atadike di ne sekolaka waha kae kedi duli weke pe gabung jadi desa. Duli Teliha lama mayan-palin maya lama tali pe nae desa Balawelin I, Duli muda lama tulun-palin bao lama banga, Duli kenila lolon girek-palin week lama rebon,  Duli laka lama mayan-pali mayan lama tali pe rae desa Balaweling II, kedi Duli rita lolon bala-palin bao lolon owa, Duli lupa lolon kuman-palin au gata matan rae pe Kelurahan Rita ebang. Rae tobo teika doan-doan ku pali hema adat pe rae wokokae balik ia lewo puke tana nimu.
A2.        Suku pulo wu lema Balawelin pe rae tobo teika hama-hama ku gere suku tou meha hala. Suku yang tobo teika pe meke 19, Rae heru wekika nolo-nolo kae. Rae pe ata suku Niron, Baun, Kaha Suba letoama, Muda Yen, Keban, Hayon Lein, Niron Gerin, Muda Tratunawa, Krowin, Sogen, Kein,  Hayon Lepan bata, Hayon Leki Seran Mau Wada / Hayon Lepe Lagaria, Kaha Kokiboki Wulan Gita, Moton, Tana Werang, Tukan, Kikon,  Sina Sawun.
A3.        Suku pulo wu lema pai pi leron pi rae roi ne agama laran kae. Agama rae pe Kristen Katolik. Ku agama no’o di adat pe rae rete ne hema geria rewa sega pi lero pi.  Suku pulo wu lema pe yang tobo teika ia lewo Balawelin pe morita  ku rae roi ne Lera Wula-Tana Eka kedi pai re mari meri Bapa Kelake Lera Wulan-Ema Kewae Tana Ekan, Ran Nope Keleka Deka-Nain Nope Belero Redon, Neku one Naen Wai Helan-Matik Naen Banu Selan, Nae Boe Hukak Korok Tukan-Nae Bua Daruk Lima Wana. Rae di roi ne Kewoko- Kelite, Kedi molang ne menaka, uli eka gelara yang re mari Lango Gelara ne Wulu Meran. Lewo tana Uli eka pi di rae weka telo, Teti Kelen Tukan-Kowa lolon, Tana Ekan, Ne Lau Tone baya. Tana eka pe rae hema Koke Bale ne rae tao merik-beledan.rae roi ne hema nenepe ku agama laran ne adat laran pe rae hema hama-hama. Elu nai meri perayaan agama laran pe rae hema ne adat. Kedi pai adat laran pe rae hema ne agama laran.
A4.        Suku pulo-wu Lema Balawelin, rae yang teika ia lewo ina-tana nimu ne rae yang teika ia duli pe pupu wekika ia koke bale. Semata suku pulo wu lema, Semata Pa, ne Bapa Lewo-Ema Tana pupu rae waha kae kedi rae tobo hama-hama, tutu hama-hama, raan hama- hama  Pai rae gelekat lewo-gewayan tana. Ne ata ribu ratu ra’a morita Tekan Tabe Gike Ukun-Tenu Tabe Lobon Luan, Eket Nope Tapo Teti Tonu-Welak Nope Jin Lali Jawa, Taan Epun Onet Boit Matit-Gahan Taan Kenahan Ehan.
A5.        Rae geto lewo wani tana kedi rae pake naran Balawelin pe sega pi lero pi suku pulo wu lema gere gelupaka hala. Rae tutu ia ana uher rae sampe pai tutu ula muri. Nolo uli eka yang rae geto lewo pe pali pi ia lewo okin kae. Uli eka pe rae hone Kapela Maria Reinha Balawelin. Uli pi yang meri Kobu Mogu Moga gaya heri koten nae ne hoya Subaraya geto lewo pe. Re hema adat pe,  suku pulo wu lema raika teti kapela Maria hema adat kia baru lali. Pai pi lero gere pi, lewo tana di mete kelemu, eka ura angi ne rae hema geria uli eka pe re kelemu-kelemu kae.ku nuba nara ne ori pe uli.
A6.        Pai rae morita haba wekika, rae  roi ne lango uma kurun kawak, kedi suku wun, ne suku pulo wu lema. Lango uma kurun kawak pe rae yang teika lango tou. Suku wun pe rae yang nene tou ne nae yang tenua pe rae mari nae kaka bapa Semata Suku pulo wu lema. Ne suku pulo wu lema pe rae lewo tou.


Data dalam bahasa Indonesia

A1.        Masyarakat Balawelin adalah masyarakat yang mempunyai kampung induk yang bernama Balawelin. Dalam perjalanan kehidupan masyarakat yan kian hari kian bertambah Karena proses kawin mawin dan usaha untuk mencari nafkah maka terbentuklah kampung-kampung filial (Duli) yang letaknya tidak jauh dari kampung induk. Kampung-kampung filial tersebut diantaranya Duli Teliha lama mayan-palin maya lama tali, Duli muda lama tulun-palin bao lama banga, Duli kenila lolon girek-palin week lama rebon,  Duli laka lama mayan-pali mayan lama tali, Duli rita lolon bala-palin bao lolon owa, Duli lupa lolon kuman-palin au gata matan.  Yang membedakan kampung filial dan kampung induk adalah, di kampung induk tersebut merupakan pusat digelarnya ritual adat sehingga terdapat rumah adat (koke bale),tempat persebahan (nuba nara), menhir dan dolmen (merik beledan). Dan di kampung filial hanya terdapat nuba nara. Seiring perkembangan zaman dan adanya pemerintahan, maka terbentuklah desa, dan kampung-kampung filial ini masuk dalam beberapa desa dan kelurahan. Duli Teliha lama mayan-palin maya lama tali masuk dalam desa Balawelin I, Duli muda lama tulun-palin bao lama banga, Duli kenila lolon girek-palin week lama rebon,  Duli laka lama mayan-pali mayan lama tali masuk dalam  desa Balaweling II, kedi Duli rita lolon bala-palin bao lolon owa, Duli lupa lolon kuman-palin au gata matan masuk dalam Kelurahan Rita ebang. Walau mereka tinggal berjauhan namun jika dilaksanakan ritual adat maka semua masyarakat tersebut kembali ke kampung induk.
A2.        Masyarakat yang tinggal di kampung induk maupun kampung filial tidak hanya satu suku saja melainkan terdiri dari 19 suku yang diantaranya adalah suku Niron, Baun, Kaha Suba Letoama, Muda Yen, Suku Keban, Hayon Lein, Niron Gerin, Muda Tratunawa, Krowin, Sogen, Suku Kein, suku hayon Lepan bata, Hayon Leki Seran Mau Wada / Hayon Lepe Lagaria, Kaha Kokiboki Wulan Gita, Moton, Tana Werang, Tukan, Kikon.  Suku Sina Sawun.
A3.        Masyarakat Balawelin sejauhini telah mengenal ajaran agama dan agama yang dianut adalah Kristen Katolik. Walau syudah mengenal ajaran agama, namun kepercayaan asli mereka tetap melekat dalam diri masyarakat setempat hingga sekarang. Mereka memiliki kepercayaan asli yang mengenal wujud tertinggi yakni disebut Lera Wulan-Tana Ekan. Dalam upacara adat dan sebagainya di ucapkan dengan  Bapa Kelake Lera Wulan-Ema Kewae Tana Ekan, Ran Nope Keleka Deka-Nain Nope Belero Redon, Neku one Naen Wai Helan-Matik Naen Banu Selan, Nae Bote Hukak Korok Tukan-Nae Bua Daruk Lima Wana (Bapak yang mempunyai bulan dan matahari-Ibu yang mempunyai tanah dan bumi, yang suaranya seperti Guntur menggelegar-napasnya seperti gempa namun hatinya air sejuk, jiwanya seperti minyak pelumas. Dia mendekap di dadanya, dia membelai dengan tangan kanannya). Mereka juga mengenal Kewoko- Kelite (arwah nenek moyang atau orang yang sudah meninggal). Dalam kehidupan dunia dikenal pula kekuatan-kekuatan gaib yang bersifat baik maupun jahat yang dimiliki oleh orang-orang tertentu yang disebut molang ne menaka (dukun dan suanggi). Adanya daerah-daerah atau juga tempat-tempat yang tidak bisa didekati atau dilewati karena mempunyai penghuni yang tak bisa dilihat dengan mata yang disebut Lango Gelara-Wulo Meran (tempat-tempat haram). Masyarakat Balawelin membagi kehidupan ini menjadi tiga bagian yakni, Teti Kelen Tukan-Kowa lolon (bagian surga dan langit), Tana Ekan (bumi), Lau Tone baya (dunia seberang). Ketiganya memiliki hubungan dan merupakan satu kesatuan dan di bumi sebagai porosnya didirikan Koke Bale dan diletekan dolmen dan menhir. Walau demikian halnya, mereka tidak menjalankan salah satunya saja. Agama dan adat selalu dijalankan bersama. Jika ada ritual adat maka disisihkan juga dengan upacara keagamaan, begitu pun sebaliknya, jika ada upacara keagamaan, maka disisipkan juga dengan upacara atau ritual adat.
A4.        Pada saat upacara adat dilaksanakan, masyarakat Balawelin baik yang berada di kampung induk maupun di kampung filial kembali berkumpul di dalam rumah adat di kampung induk dan mereka semua dihimpun oleh para kepala suku, dewan empat besar dan tuan tanah bercerita, berdiskusi bersama (tobo hama hama : duduk bersama-sama, tutu hama- hama: bicara bersama-sama dan raan hama – hama : buat sama-sama) untuk membangun Balawelin ke arah yang lebih baik di kemudian hari. Dengan ini masyarakat pun hidup dalam kedamaian dan berpegang teguh pada asas Tekan Tabe Gike Ukun-Tenu Tabe Lobon Luan, Eket Nope Tapo Teti Tonu-Welak Nope Jin Lali Jawa, Taan Epun Onet Boit Matit-Gahan Taan Kenahan Ehan (makan bersama-sama walau sedikit-minum bersama-sama dalam secangkir, persatuan laksana kumpulan buah kelapa di atas pohon-kesatuan bagaikan kerabatan  Jawa, jadikan hati dan budi menjadi satu-menjadikan satu ikatan tak terpisahkan).
A5.        Tentang peristiwa pemberian nama kampung menjadi Balawelin, hingga saat ini selalu dikenang oleh masyarakat Balawelin karena dianggap bahwa legenda ini benar-benar terjadi sehingga diceritakan secara turun temurun hingga digali kembali legendanya. Tempat dimana dahulu didirikan kampung Balawelin sekarang menjadi daerah kampung lama. Di tempat inilah Kobu mogu moga gaya meletekan kepalanya dan menyuruh Subaraya mendirikan kampung. Dan kini tempat tersebut didirikan tempat ibadat Kapela Maria Reinha Balawelin. Jika diadakan upacara adat, maka masyarakat Balawelin akan mengadakan ritus adat terlebih dahulu di tempat ini setelah itu dilakukan lagi di rumah adat yang terletak di kampung induk sekarang. Hingga saat ini dikarenakan perubahan musim dan perkembangan jaman maka daerah di sekitar Kapela Maria sudah dibenahi, namun menhir dan dolmen serta pondok kecil di samping Kapela masih utuh.
A6.        Dalam hubungan kekerabatan, mereka mengenal tiga hubungan yang diantaranya adalah lango uma kurun kawak (Hubungan orang-orang yang tinggal dalam satu rumah), suku wun(mereka yang menyatakan diri satu turunan atau satu nenek moyang, yang dikepalai oleh kepala satau ketua suku), suku pulo wu lema (mereka semua yang hidup dalam satu kampung).


B. Teks Legenda Kampung Balawelin

Legenda dalam bahasa asli

LEGENDA KAMPUNG BALAWELIN
KECAMATAN SOLOR BARAT KABUPATEN FLORES TIMUR

B1.       Nolo ia ile Niu, nene tou nara nae Wae Belek. Nene Wae Belek pi, nae gute tobi mege pito ne si’a, nae tuti tahik  se wai kedi wala mete buta mara. Ne bauk ere rua ata kayak aya bego tobo teika ola reka  here renu. Pe kedi, ile betu wato tawa tana buhuk eka, ile udu sina tawa woka hara lein’ gere, kayo nebe tapa tawa, tale nebe doro olik. Wato heri ko’i tobo, tua tawa bao gaka. Wato ama pae hari, ua jina wido ile. Nene tou bego, nara nae Kakatua Nini Daya tobo  pe wato lolon.
B2.        Kayo tawa geta  kae, kedi Nene Kakatua Nini Daya pana puta wulu, sesa apu bare baki. Nae pana sesa apu bare bagi pe, na’e noi bela menure bene tawa. Na’e gute bela pe kedi adake pai bela pe tawa gere bele. Kedi bela hepak pati tani, wogi toa beda doen, betok Subaraya Wolo Lolon Keri Koda Male Angi. Nene Kakatua Nini Daya pa’o gotak ana pe hewo nae bele gere.
B3.        Subaraya betok kae, kedi nenegae Subaraya pi morita? Nene Kakatua Nini Daya ta’o Subaraya ia ue koe ono. Subaraya nodi tani newa, kedi kolo kukak na’i seba eka’ bego ni Subaraya ga. Lera Wula  Tana Eka nodi hule tede, kedi Ne piku tuak koli kebo ile tuka tapa tuho Subaraya-pona bai  marak layo lima holo wora Keri koda Male Angi. Subaraya tani ale malu pe, marak tetik ia Subaraya wowa. Nae ale bohu kae pe, marak nimo mara. nae ale malu muri pe marak tetik.
B4.        Pai Subaraya bele gere, tuak koli kebo, marak layo lima mara kae. Subaraya holo morita nenegae  muri. Lera Wula, Tana Eka tede pe kedi nei Subaraya aho to’u, hupe tou, ne wuhu to’u. Aho pe  naran wolo buto laga lema. Subaraya ne aho pe raika batina. Subaraya de’i ia mada, kedi aho wolo buto laga lema nai rae ua jina wido ile. Aho pe meha niu, meha nodi go bawa wawe hewo dahe Subaraya ne Subaraya le’o. Nolo pe ape take uli, ne ru’aka rodi reka tange.Wawe rae rewa weru’i pe Subaraya pete kedi ai ne belao, kedi wawe ipe pe rae neka. Lero geta-geta morita rae nene pe.
B5.        Lero to’u, ru’aka raik batina. Ru’aka niu go lodo uak gere wolo temata wawe. Kedi wawe mata ia hingi lama bole-lebe lama maya, uli eka Jawa Malaka no tua Bateya- Bateya ara lolo ra’e. Pe ku lera helu eka mite kae. Subaraya re aho wolo buto laga lema tuno wawe, reka renu na ne turu ka dipe. Noko Subaraya turu nae geha, ku aho wolo buto laga lema na’i turu haba kebarek to’u nara na’e Peni Gini Hara Geka Tepa Geka Suba Nina. Kedi hogo gule na’e ra’e ru’ak ra’ik balik pana hewo lara lola, aho wolo buto laga lema peko balik turu haba Peni Gini Hara Geka Tepa Geka Suba Nina muri. Kedi Subaraya pe na’i dore aho neku pe. Hewo weli uli eka neku pe, na’e maya aho balik, ku aho gehi balik hala. Nenepe kedi Jawa Malaka no Tua Bateya ra’e hoya Subaraya balike rete ne bine ana ra’e Peni Gine Hara Geka Tepa Geka Suba Nina. Ru’aka  tali ne aho pe pana balik lodo uak gere wolo ra’ik balik ia Wuho Wolo Mata- Tana Mapen Lera Gere Subaraya uli ekana. Lero hode lero ru’aka tobo teik, turuka hama-hama,teku oha tiwa lone kedi yadi kelake  pito ne bine di pito.
B6.        Subaraya teika pe, lewo naran Wuhu Wolo Mata-Tana Mapen Lera Gere. Tobo teika di pe ku reka eka pi rodi reka tange. Kedi lero tou bego wu Kein. Kedi na’e noni ape ia Subaraya. Hema kenihi au bête ne marik tapo tange, pe kedi re reka eka tenaha’ hena kae. Re lama kein raik balik pe Subaraya ni ro aho to’u ana pito. Wu kein raika, bego muri wu Baon, sina jawa, keroko puken.kedi bine ana kelake pito neku pe nawo ia wu Bao tou ne suku ikere di ai bine tou-tou. Ana kelake pito pe geto lewo hone tana, mehaka. Subaraya weka ne geta. Pe rae teika ia lewo Kleuan Lala Eban-Tana Bala Koran Gobak. Rae teika dipe ku rae gere kayak aya la. Ata mata rewa. Nene pe wahake, rae geto lewo muri kedi pake lewo pe naran Lewo Wao Lama Salan-Tana Pigan Lama Selun. kedi ra’e hone lewo muri naran Ku Kayo Bala-Tana Pusu Laka Beak. Ia lewo pi ra’e mula Nuba Bou Lakaro-Nara Medo Wato pali ne rae tao eka kena nei Lera Wula Tana Eka ne kewoko kelite rae, ne lewo pe liko lapak rae ne rae morita mela senare. Pe lewo di hama hena. Kedi ra’e raika teika ia lewo Keru Geru Wolo-Liwo Walan Belen Lolon. Pi lewo pi ata kayak aya bego tobo teika haba rae. Suku pulo wu lema yang tobo teika  ia lewo pe ra’e rae ile lua ata suku ile jadi woka dewa, suku Niron, Baun, Muda Yen. Rae lali warat haka pe ata suku sina jawa, Suku Keban, Hayon Lein, Niron Gerin, Muda Tratunawa, Krowin, Sogen. Rae teti timu hau pe rae ata tena mau ne suku keroko puken lepan bata, Suku Kein, suku hayon Lepan bata, Hayon Leki Seran Mau Wada / Hayon Lepe Lagaria, Kaha Kokiboki Wulan Gita, Moton, Tana Werang, Tukan, Kikon.  Suku Sina Sawun.
B7.        Suku pulo wu lema tobo teika di pe, kedi ra’e iki Koten soga Kelen-iki Hurit soga maran Maran, sega pi lero pi rae mari naran Semata Pa. Semata Pa pi Koten pe rae suku Keban Koten, rae belo ewa pe na’e pehe tilu-haga tara. Kelen pe rae suku Keban Kelen, nae pe tubo iku-lawe lei. Hurit pe rae suku Niron Hurit, nae pe pehe suri kada. Maran pe ata suku Niron Maran, nae pe nete maran muke. Rae Semata Pa pi, rae ata kebelen, suku pulo wu lema pe ata ribu ratu. Semata Pa, rae keria hama-hama.semata tou bego hala pe adat rae hema bisa hala. Lela tobo pae pi lewo Keru Geru Wolo-Liwo Walan Belen Lolon, rae raika muri ia Lewo Pusu Bura-Tana Bura Kamba Lese. Tobo teika gere lela hala, suku pulo wu lema rebe belo wekika. Lera Wula tana eka gere Berea la.
B8.        Kedi Subaraya, hegegulo mor, nae na’i dopa here tuak nawi to’u, newa ne kebako. Newa pe naran tapo eba. Lero tuka na’e balike, hewo ia mada. Nae heru kobu mogu moga gaya. Iku pe golek ile ne koto nae pe gadak ia mada. Nae pe re mari meri bapa timu ema wara. pe dopi nai kolo ketuok kebik. Tede pe kedi Subaraya kerokota. Nae gute nawi ta’o lali tana, ekak kebako neku ne newa pe. Eka lero kae, Subaraya ale malu kae, meri nai balike, kobu mogu moga gaya pelu liko lara. Kolo ketuok pi beka lau iku dai ia puan kedi hewo rae kote. Pe kedi Bapa timu ema wara gahi kolo ketuok meri ere maya bapa ata maran pere pe hau kia. Kedi ketuok erae maya. Ku Subaraya gehi. Nae meri elu ku ekene dora ro. nene pe, ketuok nai elu mari bapa timu ema wara meri Subaraya gehi hau la. Ketuok  pe beka muri, lau iku dai hewo puan kedi rae kote. Bapa timu ema wara hoya ere muri, ku Subaraya gehi hena. Lei ketelo nai, Subaraya ono kua ta’a kae, lewo tana maya. Kedi nae gute tuak nawi to’u pe lobo ne keti mihi.  Eret pelate kae ku pana ne to’u-to’u, nae nai elu  lau bapa timu ema wara.  Hewo lau, bapa timu ema wara mari ro meri pi wowa nae gadak pe, Subaraya geto lewo ne wani tana. Geto genewa, pake lewo naran Lewo gika uku-tana lega lara. Kedi bauk ere rua, mio ge ahik  menu lea pe soro uma lamak goe nolo kia. Goe kaik tobo plali tana eka bao. ku bauk ere rua mio ge ahik menu lea ne soro uma lamak goe la pe, aya nene gae di mio weka ketao. Nena pe kedi subaraya dore.
B9.        Kedi lero to’u, Subaraya pupu suku pulo wu lema ne rae geto lewo wani tana. Kayo ikere toba waha kae, kayo to’u pi soru liwa weli ha’ak papa kae ku kayo pe gere toba la. Kayo pe naran kayo lo’o. Lewo pe gere pake nara Lewo gika uku-tana lega lara. Ra’e tobo teika kae, ku ia kayo kepapa peli mada pe ula kote pito ia wutu. Ula pi rae meri ete menaka. Aho noko geta nodi bowo newa, manuk digokok  newa. Tede uli eka gere mela senare la pe, Subaraya na’i lodo maya mola Koki kaha gere hule tede. Etege Ula koto pito pi noko geta na’a lewo gere mela senare la. Ku Koki meha na’a mata nerehi. Kedi na’e lodo maya  Wayo Nogoama Keban, Suba Litoama Kaha, Lepe Lagaria hayon. Re raika gere pe Koki Kaha hoya re pasak, ula pe kedi hetok pai doge nele Suba Letoama. Tede nene pe kedi Lepe Lagaria hayon, wuhu pi wutu kelopor, nae leo ula koto pito neku pe kedi ra’a mata. Ula pe naran Aru. Kedi ula pe rae rete tebo ia besa wutu lali pepa. Pe kedi kayo loo neku pe toba hala, kedi rae pole bala tou. Bala pe ata wu muda raena. Ne ketipa tou, doge weli kayo puke kedi Leyo Kaha bogo kayo pe kedi kayo nebe toba. Pe kedi rae pake naran Lewo pi bala nawa- tana pi kora goka. Tobo teika pae lela pi lewo ku rae suku pulo wu lema gere morita mela senare la, rebe geni pewunoka. Kedi rae semata pa hema geria re kelemu-kelemu ge rebe genina hala muri ne pe lewo kua ta’a-tana male manga. Hema geria waha kae kedi rae pake lewo pi naran meri Lewo bala lama haru- tana haru lama dike kedi rae mari Balawelin. Pe kedi rae mulai roi kelemu Bapa lewo ema tana, kedi Semata pa, Semata suku pulo wu lema, pai ne suku pulo wu lema

Legenda dalam bahasa Indonesia

LEGENDA KAMPUNG BALAWELIN
KECAMATAN SOLOR BARAT KABUPATEN FLORES TIMUR

B1.        Dahulu kala di atas puncak gunung Niu hiduplah seorang nenek bernama Wae Belek, nenek ini menggunakan kekuatan super naturalnya untuk memisahkan darat dan lautan dengan batasan-batasan yang jelas menggunakan tujuh genggam asam dan garam, agar dikemudian hari umat manusia dapat mendiaminya untuk melangsungkan hidup. Segala jenis makhluk hidup mulai tumbuh dan bemunculan di permukaan bumi. Selang beberapa waktu kemudian, hiduplah pula seorang perempuan lagi bernama Kakatua Nini Daya.
B2.        Setelah semua tumbuhan sudah memenuhi permukaan bumi, Nenek Kakatua Nini  Daya meneruskan kehidupannya dengan bergantung pada kemurahan alam yang antara lain memetik buah-buahan dan sayur-sayuran dari hasil hutan. Dalam perjalanannya mencari hasil hutan, Ia menemukan sebuah tumbuhan bambu yang masih  muda. nenek Kakatua Ninidaya mengambil tumbuhan tersebut dan menanamnya di dekat kediamannya hingga menjadi besar. Bambu tersebut retak dan pecah, munculah sosok bayi yang kemudian diberi nama Subaraya Wolo Lolon-Keri Koda Male Angi. Nenek Kakatua Nini Daya pun mengasuhnya hingga dewasa.
B3.        Dengan munculnya Subaraya ini membuat nenek Kakatua Nini Daya berpikir keras untuk mengasuh dan melanjutkan kehidupannya. Entah dengan cara apa lagi agar Subaraya dapat bertahan hidup. Nenek Kakatua Nini Daya membaringkan Subaraya di dalam sebuah ubi yang ukurannya sangat besar yang sering disebut ue koe. Karena Subaraya terus menagis karena lapar, maka seekor burung bernama Kukak mencari makanan untuk dia. Lera Wulan Tana Ekan melihat hal tersebut maka dengan kuasa-Nya menjadikan sebatang pohon tuak bisa menghasilkan tuak manis agar diminum oleh Subaraya. Ketika Subaraya menangis karena lapar, pohon tuak tersebutkan meneteskan tuak manis tepat di mulut Subaraya sampai ia kenyang dan tuak manis tak menetes lagi. Hal seperti ini terjadi terus menerus tatkala Subaraya lapar.
B4.        Tahun-tahun berlalu hingga Subaraya tumbuh menjadi sosok pria dewasa. Pohon lontar tak lagi meneteskan tuak manisnya, bagaimana Subaraya melanjutkan hidup? Lera Wulan Tana Ekan pun tak menutup mata, maka dikirimi-Nya untuk Subaraya sebuah busur lengkap dengan anak panah, juga seekor anjing ajaib bernama wolo buto laga lema, yang bias berbicara layaknya manusia. Subaraya dan anjing itu pergi berburu, anjing itu menyuruh Subaraya untuk menunggu di tempat yang rata dan anjing pergi menggiring babi dari lempat tumbuhnya rotan (uajina wido ile). Anjing tersebut sendiri berteriak memanggil namanya, juga sendiri menggonggong seperti seorang pemburu dan anjingnya, untuk menggiring babi menuju Subaraya. Ketika babi tepat di dekat Subaraya, ia langsung memanahnya. Kala itu belum ada api-apian, sehingga anjing wolo buto laga lema dan Subaraya memakan buruan mereka tanpa membakar atau memasak terlebih dahulu. Dan babi pertama yang mereka dapat, ketika Subaraya menyembelihnya terdapat Anting kuno (belao), dan gigi taring babi tersebut juga disimpan. Setiap harinya mereka hidup seperti ini.
B5.        Hari-hari terus berlalu dan setiap hari pula Subaraya dan anjing ajaibnya berburu. Tibalah pada suatu hari, ketika mereka sedang berburu menuruni lembah dan menaikai perbukitan, mereka melihat seekor babi. Keduanya mengejar babi tersebut namun tak juga dapat menangkapnya. Mereka terus berusaha mengejar, hingga babi itu tertangkap di suatu tempat bernama hingi lama bole-lebe lama maya, tempat yang dihuni oleh sekelompok orang yang menyebut dirinya Jawa Malaka no tua Bateya-Bateya ara lolo. Subaraya dan anjingnya memotong babi tersebut untuk makan dan menyisahkan bekal untuk besok harinya. Tampak hari sudah mulai gelap. Mereka berdua hendak pulang namun jangan sampai kemalaman di dalam perjalanan, akhirnya mereka memutuskan untuk beristirahat malam di tempat itu. Ketika Subaraya tidur, tanpa disadarinya anjing wolo buto laga lema meninggalkan dirinya. Anjing itu pergi dan tidur bersama seorang gadis bernama Peni Gini Hara Geka Tepa Geka Suba Nina. Keesokan paginya, Subaraya bangun dan melihat anjing ajaibnya tak bersama dirinya. Ia memanggil anjing tersebut untuk pulang sambil mengangkat bekal yang telah disisikan tadi malam. Dalam perjalanan untuk pulang, anjing wolo buto laga lema tiba-tiba berlari kembali ke tempat Jawa Malaka no tua Bateya-Bateya ara lolo dan menemui Peni Gini Hara Geka Tepe Geka Subanina.Subaraya memanggil anjing ajaibnya pulang. Namun hal yang sama terulang kembali hingga tiga kali berturut-turut. Akhirnya atas restu dari kelompok Jawa Malaka no tua Bateya-Bateya ara lolo, maka Subaraya diijinkan untuk membawa Peni Gini Hara Geka Tepe Geka Subanina bersama mereka untuk kembali ke hunian Subaraya yakni Wuhu Wolo Matan-Tana Mapen Lera Gere. Kembalinya dari tempat tersebut, akhirnya Subaraya dan Peni Gini Hara Geka hidup bersama sebagai suami dan istri hingga dikaruniai oleh sang Khalik pada mereka tujuh orang putra dan saudarinya masing-masing.
B6.        Perkampungan yang dihuni oleh Subaraya tersebut Wuhu Wolo Matan-Tana Mapen Lera Gere, namun mereka masih mengkonsumsi makanan tanpa dimasak terlebih dahulu, karena mereka belum mengenal yang namanya api. Hingga datanglah seorang pengembara dari suku Kein dan mengajarkan pada Subaraya cara membuat api, yakni menggunakan bilah bambu yang masih mentah dan sabuk kelapa yang kemudian digosok. Setelah mengenal api, akhirnya mereka dapat mengkonsumsi makanan yang sudah dibakar dan dimasak. Sebagai ucapan terima kasih kepada pengembara tersebut, Subaraya memberinya seekor anjing betina beserta tujuh anaknya. Sepeninggalan Suku Kein, datang lagi orang dari Suku Baon, dari Sina Jawa, Lepan bata, dan juga yang lainnya. Dan menghuni di dekat perkampungan Subaraya. Maka ketuju saudari dari tujuh putra tersebut dijodohkan dengan suku-suku pendatang tersebut. Tujuh putra Subaraya ada yang membuka perkampungannya sendiri. Ada pula yang terus bersama Subaraya. Setela itu mereka pindah dan menghuni kampung Kleuan Lala Eban-Tana Bala Koran Gobak. Namun pada saat tinggal di tempat tersebut, keturunan mereka tak juga bertambah, justru sebaliknya kematian dan penyakit yang selalu menimpa mereka. Karena itu mereka berpindah lagi ke Lewo Wao Lama Salan- Tana Pigan Lama Selun. Setelah sekian lama menghuni kampung tersebut, mereka pindah lagi ke Ku Kayo Bala-Tana Pusu Laka Beak. Di tempat inilah mereka meletekan dolmen dan menhir yang pertama yang bernama Nuba Bou Lakaro- Nara Medo Wato, sebagai tempat memberikan persembahan pada yang maha tinggi dan leluhur agar mereka selalu hidup  aman dan tentram. Kehidupan berjalan sebagaimana biasanya namun kejadian seperti bencana dan penyakit datang menimpah mereka sehingga mereka berpindah lagi ke Keru Geru Wolo-Liwo Walan Belen Lolon. Di kampung ini berdatangan banyak orang dari berbagai suku suku ile jadi woka dewa, suku Niron, Baun, Muda Yen. Rae lali warat haka pe ata suku sina jawa, Suku Keban, Hayon Lein, Niron Gerin, Muda Tratunawa, Krowin, Sogen. Rae teti timu hau pe rae ata tena mau ne suku keroko puken lepan bata, Suku Kein, suku hayon Lepan bata, Hayon Leki Seran Mau Wada / Hayon Lepe Lagaria, Kaha Kokiboki Wulan Gita, Moton, Tana Werang, Tukan, Kikon.  Suku Sina Sawun.
B7.        Maka terbentuklah Suku Pulo-Wu Lema dan  iki Koten soga Kelen-iki Hurit soga maran, selama berlaku hingga sekarang yang disebut dengan dewan empat besar (Semata Pa).  Dewan  empat besar ini yakni Koten adalah suku Keban Koten, bertugas memegang bagian kepala hewan (pehe tilu-haga tara). Kelen adalah suku Keban Kelen, bertugas memegang kaki dan ekor hewan (tubo iku-lawe lei). Hurit adalah suku Niron Hurit, bertugas memegang parang untuk menyembelih (pehe suri kada). Maran adalah suku Niron Maran, yang bertugas mengucapkan doa dan mantra (nete maran muke). Karena semeta Pa ini merupakan struktur yang bekerja secara kolektif kolegia maka jika salah satu dari mereka tidak hadir maka ritual adat tidak dapat dilaksanakan. Bertahun-tahun mereka menghuni perkampungan tersebut, akhirnya berpindah dan membentuk perkampungan baru yang diberi nama Lewo Pusu Bura-Tana Bura Kamba Lese, namun di kampung yang baru ini, mereka tidak lama menetap karena terjadi perang saudara yang mana mereka saling membunuh.
B8.        Hingga pada suatu hari, pagi-pagi buta Subaraya pergi menjalankan aktivitasnya sehari-hari di tapo eba  untuk mengiris tuak, dan memanen daun tembakau. Ketika siang harinya ia kembali, di tempat yang rata Ia bertemu dengan kekuatan Lewo tana Bapa timu ema wara dalam rupa seekor buaya yang bernama kobu mogu moga gaya, yang berpengawal seekor burung bernama ketuok kebik. Panjang buaya tersebut dengan ekornya yang melilit gunung dan kepalanya berada tepat di tempat yang rata tersebut. Melihat binatang ini Subaraya ketakutan. Hari sudah semakin siang Subaraya sudah sangat lapar. Namun niatnya untuk melanjutkan perjalanan pulang diurungkan karena kobu mogu moga gaya telah menghalangi jalan. Subaraya meletakan semua barang bawaannya di tanah. Burung ketuok kebik terbang mengelilingi Bapa timu ema wara tersebut mulai dari ekornya, mengintari tubuh hingga di kepalanya. Bapa timu ema wara menyuruh ketuok kebik untuk memanggil bapa ata maran untuk menghampirinya. Ketika ketuok menyampaikan kepada Subaraya namun Subaraya tak mau karena dia takut dimangsa oleh buaya tersebut. Ketuok kebik terbang kembali dari ekor sampai ke bagian kepala dan menyampaikan kepada bapa timu ema wara. Namun bapa timu ema wara menyuruh ketuok hingga tiga kali dan akhirnya Subaraya pun bersedia untuk mengampiri bapa timu ema wara. Subaraya mengambil tuak dan meneguknya sampai habis hingga dia mabuk. Walau sudah mabuk namun perasaan takut masih menyelimuti dirinya dan dengan langkah satu-satu ia berusaha mendekati Bapa timu ema wara. Ketika tiba di hadapan bapa timu ema wara, buaya tersebut berpesan pada Subaraya agar membuka perkampungan baru di tempat dimana kepalanya berada. Karena kampung yang sekarang dihuni, merupakan tempat persinggahan segala macam penghuni bumi baik dari utara, selatan, timur maupun barat. Kampung dibangun tersebut harus diberi nama Lewo gika uku-tana lega lara. Bapa timu ema wara akan kembali ke tempatnya yakni tana eka bao. Dan jika melakukan ritual adat, maka Subaraya harus terlebih dahulu memberikan sesajian untuk Bapa timu ema wara, jika tidak dilaksanakan maka apapun yang dilakukan oleh Subaraya dan rakyatnya tidak akan pernah mendapatkan hasil yang baik karena tidak mendapat restu. Setelah berkata demikian, Kobu mogu moga gaya kembali ke tempatnya.
B9.        Dengan demikian, berdasarkan amanat yang disampaikan oleh Bapa timu ema wara kepada Subaraya, maka Subaraya pun mengumumkan kepada semua penghuni kampung untuk membuat sebuah perkampungan baru. Dalam proses pembabatan hutan, semua tanaman dan pepohonan sudah diratakan dengan tanah, namun ada sebuah pohon besar yang diyakini sebagai kekuatan lewo tana, tak bisa tumbang walau kapak dan parang sudah menembus dibalik batang pohon tersebut. Pohon itu bernama Loo. Kampung tersebut pun diberi nama sesuai yang dipesan oleh bapa timu ema wara yakni Lewo gika uku-tan lega lara. Beberapa hari kemudian situasi perkampungan semakin tidak nyaman. Anjing terus menggonggong ayam pun terus berkokok ketika larut malam. Subaraya pun mencari tahu penyebab dari kejadian ini. Subaraya memanggil seorang dukun bernama Koki Kaha untuk mencari penyebabnya. Dan ternyata di samping tempat yang rata tersebut di atas sebatang  pohon  kepapa ada seekor naga berkepala tujuh. Naga ini dipercaya sebagai wujud dari roh jahat atau suanggi. Naga inilah yang menyebabkan suasana kampung menjadi tidak nyaman. Subaraya memanggil dukun bernama  Koki Kaha,  namun Koki Kaha sendiri tak mampu menangkapnya, akhirnya dia memanggil dukun yang lain diantaranya Wayo Nogoama Keban, Suba Litoama Kaha, Lepe Lagaria hayon untuk membantunya. Koki menyuruh agar naga itu ditembak, namun naga itu berbalik melompat dan melilit Suba Letoama. Melihat hal itu, Lepe Lagaria hayon dengan busur dan anak panah yang ujungnya tumpul berhasil memanah naga tersebut. Naga tersebut bernama Aru. Setelah berhasil dipanah oleh Lepe Lagaria Hayon, masyarakat pun beramai-ramai memusnahkan binatang pengganggu tersebut dan bangkainya di buang di samping sebuah tempat bernama Besa Wutu. Setelah binatang pengganggu dibunuh, Subaraya dan rakyatnya membuat ritual di bawah pohon lo’o, tak lupa pula memberi sesajian pada bapa timu ema wara, mereka melilit kain ketipa dan sebatang gading (bala) di pohon lo’o tersebut berhasil ditumbangkan oleh Leyo Kaha. Gading yang digunakan tersebut adalah milik suku Muda. Maka yang semula kampung itu diberi nama Lewo gika uku-tana lega lara’ diganti menjadi Lewo pi bala nawa-tana pi kora goka. Setelah semuanya berhasil dilaksanakan, masyarakat pun hidup sebagaimana biasanya. Namun pertikaian antara mereka terus menerus terjadi. Akhirnya dewan empat besar (semata pa) mengatur dan mengurus masyarakat yang bertikai hingga mereka semua hidup dalam suasana penuh kedamaian dan ketentraman. Dengan kedamaian dan ketentraman ini, maka mereka mengubah nama kampung menjadi Lewo bala lama haru- tana haru’ lama dike, yang berarti tana yang memberi kemakmuran dan kenyamanan. Yang kemudian disebut Balawelin. Sejak saat itu mulai tampak tingkat kedudukan social dalam masyarakat yakni Tuan tanah (Bapa lewo-ema tana), kemudian turun satu tinggkat ada dewan empat besar (Semata Pa) dan para kepala suku (Semata Suku pulo wu lema), dan tinggkat yang terakhir adalah masyarakat biasa (Suku pulo-wu lema). 


4.2 Interpretasi
4.2.1 Nilai Historis
Nilai historis merupakan nilai yang berhubungan dengan sebuah peradaban atau kebudayaan suatu masyarakat yang popular dikalangan masyarakat tersebut.
Dengan demikian maka kandungan nilai historis dalam legenda kampung Balawelin Kecamatan Solor Barat Kabupaten Flores Timur dapat di lihat pada paragraph B1 yang menyatakan bahwa:
 Dahulu kala di atas puncak gunung Niu hiduplah seorang nenek bernama Wae Belek, nenek ini menggunakan kekuatan super naturalnya untuk memisahkan darat dan lautan dengan batasan-batasan yang jelas menggunakan tujuh genggam asam dan garam”………………………..”Selang beberapa waktu kemudian, hiduplah pula seorang perempuan lagi bernama Kakatua Nini Daya

Pernyataan di atas menerangkan bahwa perjalanan awal dari kehidupan di dunia ini berawal dai seorang nenek yang memiliki kekuatan supernatural yang  bisa  memisahkan laut dan daratan dan hingga sekarang manusia hidup di daratan yang kering.
Nilai historis juga dapat dilihat pada paragraf  B2 yang menyatakan bahwa
“…………….Dalam perjalanannya mencari hasil hutan, Ia menemukan sebuah tumbuhan bambu yang masih  muda. nenek Kakatua Ninidaya mengambil tumbuhan tersebut dan menanamnya di dekat kediamannya hingga menjadi besar. Bambu tersebut retak dan pecah, munculah sosok bayi yang kemudian diberi nama Subaraya Wolo Lolon-Keri Koda Male Angi……………”

Pernyataan ini menerangkan bahwa penerus suku Balawelin perama adalah lahir dari pecahan bambu.
Nilai historis lainnya dapat dilihat pada paragraf B6 yang menyatakan bahwa :
“……………Setela itu mereka pindah dan menghuni kampung Kleuan Lala Eban-Tana Bala Koran Gobak. Namun pada saat tinggal di tempat tersebut, keturunan mereka tak juga bertambah, justru sebaliknya kematian dan penyakit yang selalu menimpa mereka. Karena itu mereka berpindah lagi ke Lewo Wao Lama Salan- Tana Pigan Lama Selun. Setelah sekian lama menghuni kampung tersebut, mereka pindah lagi ke Ku Kayo Bala-Tana Pusu Laka Beak. Di tempat inilah mereka meletekan dolmen dan menhir yang pertama yang bernama Nuba Bou Lakaro-Adak Nara Medo Wato. Kehidupan berjalan sebagaimana biasanya namun kejadian seperti bencana dan penyakit datang menimpah mereka sehingga mereka berpindah lagi ke Keru Geru Wolo-Liwo Walan Belen Lolon…………………….”

Pernyataan ini menerangkan bahwa sebelum mendiami kampung secara tetap, mereka hidup berpindah-pindah karena alasan-alasan yang sangat mendasar yakni karena penyakit dan bencana yang menimpah.
Nilai historis lainnya lagi dapat dilihat pada paragraf B9 yang menyatakan bahwa :
“……………Dan ternyata di samping tempat yang rata tersebut di atas sebatang pohon kepapa ada seekor naga berkepala tujuh. Naga inilah yang menyebabkan suasana kampung menjadi tidak nyaman. Namun Koki Kaha, sendiri tak mampu menangkapnya, akhirnya dia memanggil dukun yang lain diantaranya Wayo Nogoama Keban, Suba Litoama Kaha, Lepe Lagaria hayon untuk membantunya. Koki menyuruh agar naga itu ditembak, namun naga itu berbalik melompat dan melilit Suba Letoama. Melihat hal itu, Lepe Lagaria hayon dengan busur dan anak panah yang ujungnya tumpul berhasil memanah naga tersebut. Naga tersebut bernama Aru. Setelah berhasil dipanah oleh Lepe Lagaria Hayon, masyarakat pun beramai-ramai memusnahkan binatang pengganggu tersebut dan bangkainya di buang di samping sebuah tempat bernama Besa Wutu. Setelah binatang pengganggu dibunuh, Subaraya dan rakyatnya membuat ritual di bawah pohon lo’o, tak lupa pula memberi sesajian pada bapa timu ema wara, mereka melilit kain ketipa dan sebatang gading (bala) di pohon lo’o tersebut dan pohon itu berhasil ditumbangkan oleh Leyo Kaha. Gading yang digunakan tersebut adalah milik suku Muda. Maka yang semula kampung itu diberi nama Lewo gika uku-tana lega lara  diganti menjadi Lewo pi bala nawa-tana pi kora goka. Setelah semuanya berhasil dilaksanakan, masyarakat pun hidup sebagaimana biasanya. Namun pertikaian antara mereka terus menerus terjadi. Akhirnya dewan empat besar (semata pa) mengatur dan mengurus masyarakat yang bertikai hingga mereka semua hidup dalam suasana penuh kedamaian dan ketentraman. Dengan kedamaian dan ketentraman ini, maka mereka mengubah nama kampung menjadi Lewo bala lama haru- tana haru’ lama dike, yang berarti tana yang memberi kemakmuran dan kenyamanan. Yang kemudian disebut Balawelin………….”

Pernyataan di atas menerangkan peristiwa hingga pemberian nama kampung Balawelin.
4.2.2  Nilai Sosial
Nilai sosial adalah nilai yang dianut oleh suatu masyarakat, mengenai apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk oleh masyarakat. Drs. Suparto mengemukakan bahwa nilai-nilai sosial memiliki fungsi umum dalam masyarakat. Di antaranya nilai-nilai dapat menyumbangkan seperangkat alat untuk mengarahkan masyarakat dalam berpikir dan bertingkah laku. Selain itu, nilai sosial juga berfungsi sebagai penentu terakhir bagi manusia dalam memenuhi peranan-peranan social.
Kandungan nilai sosial dalam legenda kampung balawelin diantaranya adalah sebagai berikut :
Nilai social dapat di lihat pada paragraf A4 yang menyatakan bahwa :
“………… Tekan Tabe Gike Ukun-Tenu Tabe Lobon Luan, Eket Nope Tapo Teti Tonu-Welak Nope Jin Lali Jawa, Taan Epun Onet Boit Matit-Gahan Taan Kenahan Ehan (makan bersama-sama walau sedikit-minum bersama-sama dalam secangkir, persatuan laksana kumpulan buah kelapa di atas pohon-kesatuan bagaikan kerabatan  Jawa, jadikan hati dan budi menjadi satu-menjadikan satu ikatan tak terpisahkan)……………..”
Pernyataan di atas menerangkan bahwa pola hidup masyarakat Balawelin selalu bepegang teguh pada azas kebersamaan.
Nilai sosial juga dapat dilihat pada paragraf  A6 yang menyatakan bahwa :
“…………..Dalam hubungan kekerabatan, mereka mengenal tiga hubungan yang diantaranya adalah lango uma kurun kawak (Hubungan orang-orang yang tinggal dalam satu rumah), suku wun(mereka yang menyatakan diri satu turunan atau satu nenek moyang, yang dikepalai oleh kepala atau ketua suku), suku pulo wu lema (mereka semua yang hidup dalam satu kampung)……..”
Pernyataan di atas menerangkan bahwa ada  3 unsur kekerabatan yang penting dalam masyarakat  Balawelin. Di samping itu juga   adanya struktur atau tingkatan status  sosial yang sangat jelas. Pernyataan ini dapat dilihat pada paragraf   B9 yang menyatakan bahwa  :
“…………Sejak saat itu mulai tampak tingkat kedudukan sosial dalam masyarakat yakni Tuan tanah (Bapa lewo-ema tana), kemudian turun satu tinggkat ada dewan empat besar (Semata Pa) dan para kepala suku (Semata Suku pulo wu lema), dan tingkat yang terakhir adalah masyarakat biasa (Suku pulo-wu lema)……………… “

Nilai sosial lainnya dapat dilihat pada paragraf  B7 yang menyatakan bahwa :
“…………………iki Koten soga Kelen-iki Hurit soga maran, selama berlaku hingga sekarang yang disebut dengan dewan empat besar (Semata Pa).  Dewan  empat besar ini yakni Koten adalah suku Keban Koten, bertugas memegang bagian kepala hewan (pehe tilu-haga tara). Kelen adalah suku Keban Kelen, bertugas memegang kaki dan ekor hewan (tubo iku-lawe lei). Hurit adalah suku Niron Hurit, bertugas memegang parang untuk menyembelih (pehe suri kada). Maran adalah suku Niron Maran, yang bertugas mengucapkan doa dan mantra (nete maran muke)……………….”

Pernyataan ini menerangkan bahwa  adanya kesadaran untuk memupuk persatuan maka dibentuklah dewan empat besar yang bertugas melindungi masyarakat. Dan karena mereka bekerja secara kolektif  kolegia maka jika salah satunya tidak hadir, dengan sendirinya  ritus adat atau apapun yang melibatkan mereka tidak akan dapat dilaksanakan.
4.2.3 Nilai Religi
Nilai  religi dalam sastra lisan merupakan segala perilaku masyarakat atau kelompok tertentu yang berhubungan dengan kepercayaan, keyakinan dan Tuhan.

Nilai religi dalam legenda kampung Balawelin adalah dapat dilihat pada paragraf A3 yang menyatakan bahwa:
“…………….Mereka memiliki kepercayaan asli yang mengenal wujud tertinggi yakni disebut Lera Wulan-Tana Ekan. Dalam upacara adat dan sebagainya di ucapkan dengan  Bapa Kelake Lera Wulan-Ema Kewae Tana Ekan, Ran Nope Keleka Deka-Nain Nope Belero Redon, Neku one Naen Wai Helan-Matik Naen Banu Selan, Nae Bote Hukak Korok Tukan-Nae Bua Daruk Lima Wana (Bapak yang mempunyai bulan dan matahari-Ibu yang mempunyai tanah dan bumi, yang suaranya seperti Guntur menggelegar-napasnya seperti gempa namun hatinya air sejuk, jiwanya seperti minyak pelumas. Dia mendekap di dadanya, dia membelai dengan tangan kanannya)………………….”

Untuk mendukung pernyataan ini dapat dilihat pada paragraf  B6 yang menyatakan bahwa :
“…………. Di tempat inilah mereka meletekan dolmen dan menhir yang pertama yang bernama Nuba Bou Lakaro- Nara Medo Wato, sebagai tempat memberikan persembahan pada yang maha tinggi dan leluhur agar mereka selalu hidup  aman dan tentram……………”

Nilai religi juga dapat dilihat pada paragraf A3  yang menyatakan bahwa :
“…………….Mereka juga mengenal Kewoko- Kelite (arwah nenek moyang atau orang yang sudah meninggal).Dalam kehidupan dunia dikenal pula kekuatan-kekuatan gaib yang bersifat baik maupun jahat yang dimiliki oleh orang-orang tertentu yang disebut molang ne menaka (dukun dan suanggi). Adanya daerah-daerah atau juga tempat-tempat yang tidak bias didekati atau dilewati karena mempunai penghuni yang tak bisa dilihat dengan mata yang disebut Lango Gelara-Wulo Meran (tempat-tempat haram)………..”

Pernyataan tentang molang dan menaka di atas dapat dilihat pada paragraph B9 yang menyatakan bahwa :
“…………di atas sebatang  pohon  kepapa ada seekor naga berkepala tujuh. Naga ini dipercaya sebagai wujud dari roh jahat atau suanggi. Naga inilah yang menyebabkan suasana kampung menjadi tidak nyaman. Subaraya memanggil dukun bernama  Koki Kaha,  namun Koki Kaha sendiri tak mampu menangkapnya, akhirnya dia memanggil dukun yang lain diantaranya Wayo Nogoama Keban, Suba Litoama Kaha, Lepe Lagaria hayon untuk membantunya…………….”

4.2.4 Manfaat nilai-nilai Legenda dalam Dunia Pendidikan
Manfaat legenda kampung Balawelin dalam dunia pendidikan formal maupun non formal antara lain
a.       Pendidikan formal
·         Nilai Legenda kampung Balawelin dapat digunakan sebagai bahan untuk pelajaran sastra.
·         Nilai Legenda Kampung Balawelin juga dapat digunakan sebagai bahan pelajaran untuk mata pelajaran PKN yang mana memuat tentang tenggang rasa inter pribadi, antar pribadi dan hubungan manusia dengan Yang Maha Kuasa.
b.      Pendidikan Non formal
·         Legenda kampung Balawelin mengajarkan tentang keterlibatan, partisipasi, struktur atau organisasi kepemimpinan tradisional yang bersifat kolektif kolegial, kepemimpinan yang partisipatif, selalu memperhatikan rakyat kecil dan melindungi mereka.
·         Adanya kerja sama antar sesama manusia dalam melahirkan suatu keputusan untuk kepentingan umum yang tercermin dalam azas musyawarah untuk mufakat.
·         Legenda Kampung Balawelin menunjukan kepada masyarakat bahwa kehidupan di dunia ini memiliki pola hidup vertikal horizontal yakni antar manusia dan sesamanya, manusia dengan Tuhan. Di samping itu juga adanya arwah leluhur yang senantiasa melihat kita dari alam lain.



DAFTAR PUSTAKA
Abdul Rani, Drs. Supratman, dkk. 2006. Inti sari Sastra Indonesia. Bandung: Pustaka Setia
Aminudin. 1990. Pengembangan Penelitian Kualitatif dalam Bidang Bahasa dan Sastra.Bandung: Yayasan Asah Asuh
Djamaris, Dr. Edwar. 1990. Menggali Khazanah Sastra Melayu. Balai Pustaka: Jakarta
Endraswara, Suwardi. 2008. Metode Penelitian Sastra. Med Press. PBS Universitas Yogyakarta
Esten, Mursal. 2000. Kesusatraan Pengantar Teori dan Sejarah, Bandung : Angkasa
Kountur, D.M.S.,Ph.D, Ronny. 2004. Metode Penelitian. PPM: Jakarta
Larupa, Mahmud, dkk. 2003. Struktur sastra Lisan Bengkulu. Pusat Bahasa Departemen Pendidkan Nasional : Jakarta
Luxemburg, Jan Van. 1984. Pengantar Ilmu Sastra. Gramedia: Jakarta
Moleong, M.A. Dr. Lexy J. 2000. Metode Penelitian Kualitatif. PT. Remaja Rosdakarya: Bandung
Piris-P.W. dkk. 2000. Sastra Lisan Ternate. Analisis Struktur dan Nilai Budaya. Pusat Bahasa: Jakarta
Sikki, Muhammad, dkk. 1986. Struktur Sastra Lisan Toraja. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud: Jakarta
Wiyanto, Asul. 2005. Kesusastraan Sekolah. PT. Grasindo: Jakarta



LAMPIRAN-LAMPIRAN

Lampiran I Nara Sumber
  1.  Nama              : Wilhelmus Wada Niron
Umur             : 72 tahun
Pekerjaan       : Petani
Asal               : Desa Balawelin II
  1. Nama               : Yohanes Mamu Muda
Umur               : 51 tahun
Pekerjaan         : Petani
Asal                 : Kelurahan Ritaebang

  1.  Nama              : Frans Nega Niron
Umur               : 84 tahun
Pekerjaan         : Petani
Asal                 : Desa Balaweling I
  1.  Nama              : Yosep Rain Niron
Umur               : 67 tahun
Pekerjaan         : Petani
Asal                 : Desa Balaweling I

20.57.00 - By Rafiz Balawelin 0

0 komentar:

Pengunjung

my twitts

Follow Us

© 2014 ilmu rafiz. WP Theme-junkie converted by Bloggertheme9
Powered by Blogger.
back to top